Pages

Selasa, 16 Mei 2017

Jurus Sakti Bernama Inovasi

Jajaran toples-toples bening berisi tembakau berbagai ukuran di atas meja pajang dua susun di sisi kiri pintu masuk seolah menyambut pengunjung yang memasuki Kafe Mukti di Jalan Wahid Hasyim No 2A Kota Semarang. Di badan masing-masing toples tertempel kertas bertulis tangan yang menyebutkan jenis tembakau rajangan di dalamnya.
Sedikitnya 50 jenis tembakau dipamerkan dan ditawarkan kafe itu. Dari tembakau lokal seperti Srinthil Temanggung, Besuki Jember, Paiton, Bojonegoro, Madura, Maesan, Lombok, Soppeng hingga tembakau mancanegara seperti Virginia danHavana dengan berbagai varian. Juga koleksi tembakau tertua yang tersimpan selama 35 tahun.
Sementara di sisi kanan, kotak kaca menempel di dinding berisi beragam cerutu dari beberapa negara. Dipajang sebagai koleksi bersanding dengan koleksi cerutu produksi Kusumaatmadja Agung (69), si pemilik kafe.
Khusus cerutu buatan Agung, jangan bayangkan sebuah gulungan daun tembakau kering yang dilinting padat dan halus dengan daun Besuki itu menebar aroma khas tembakau yang “anthep” atau “berat” dan pahit  saat dibakar dan diisap. “Agung Cigar” kualitas premium dengan varian lightoriginal dan dark ini beraroma lain, seperti kopi, cokelat, vanila, dan berbagai aroma buah.
“Cerutu umumnya berasa berat dan pahit. Pengisapnya kebanyakan orang dewasa atau orang tua. Saya bikin yang ringan dengan memberi rasa yang umumnya mereka sukai,” ujar Agung sembari memperlihatkan beberapa cerutu produknya kepadaIndepeden.
Rasa yang jadi varian cerutunya juga bisa dicecap lidah si pengisap. Begitu juga dengan produk varian dari tembakau linting (rolling tobacco) dan tembakau linting (roll your own tobacco) yang dapat dinikmati dengan rasa green tea, mocca, cherry, mint hingga bubble gum. Atau rokok kretek (clove cigarette) merek Kentana dan Macona yang diracik dari beberapa jenis tembakau dan cengkeh asal Menado.
Agung memang harus bekerja keras menciptakan inovasi dalam peracikan produk olahan tembakaunya untuk merebut pasar. Terutama “pasar baru” cerutu yang menyasar anak-anak muda. Sebagai produsen cerutu, dia terbilang baru. Tapi kemampuan meracik melahirkan inovasi kreatif di tahun 2010 tekanan yang dihadapi “pemain tembakau” ini.
Sebelumnya, seperti yang dilakukan kakek dan ayahnya setengah abad lalu, Agung  hanya berjual-beli tembakau dan memasok pabrik-pabrik rokok kelas menengah dan kecil. Usahanya berkembang hingga mempunyai jaringan petani tembakau yang setiap panen siap menjual tembakau kepada dirinya.
“Terus terang hampir frustrasi. Bisnis tembakau sama sekali tidak jalan. Teman-teman juga mengeluh sama. Kalau tidak salah itu mulai tahun 2005. Baru lima tahun kemudian saya utak-atik memproduksi tembakau yang saya punya,” katanya.
Meski “pemain tembakau” kawakan, Agung mengaku nekat menjajaki pasar cerutu sebagai usaha kerasnya berinovasi menyasar pelanggan muda. Ia menwarkan tembakau bercita rasa “ngepop” dengan variasi rasa.
Meskipun lebih banyak berjual-beli tembakau, Agung punya kemampuan meracik rokok yang didapat dari leluhurnya. Kalau ayah dan kakeknya lebih banyak memakai bumbu dan rempah sebagai saus rokok, Agung memodifikasinya dengan aneka varian buah. Seperti tembakau berasa buah yang terbilang unik ini.  “Saya ambil stroberi yang paling bagus dari Lembang, Bandung karena stroberi sana berasa manis. Saya ekstrak dengan cara tradisional, dipotong, dikukus, diperas, dan diambil air sari buahnya.”
Agung juga berinovasi dalam kemasan bungkusan yang cenderung berwarna pastel, warna yang menurutnya disukai anak muda. Tak hanya itu, dia juga membuat cerutu kecil yang disebutnya mini-cigar dalam kemasan satu bungkus berisi lima dan dua.
Bagaimanapun juga, kreativitas tersebut menyelamatkan Agung dari rasa frustrasi untuk alih profesi. Inovasi yang dikembangkan dalam produk cerutu, tingwe, dan tembakau cangklongnya telah menuai hasil. Lebih-lebih, proyeksi pasarnya terpenuhi. Kafenya hampir setiap malam, anak-anak muda berkumpul menikmati tembakau khas dari Agung.

Taru Martani Bangkit dari Keterpurukan
Apa yang dialami Agung boleh disebut tak seberat yang dialami Taru Martani, pabrik cerutu legendaris di masanya yang berlokasi di Baciro, Yogyakarta. Perusahaan cerutu milik Pemerintah Daerah (Pemda) Yogyakarta ini bahkan hampir gulung tikar.
Taru Matani yang berdiri sejak 1918 itu dihantam badai krisis keuangan. Bahkan performa perusahaan dinilai meragukan sehingga tidak layak mendapat pinjaman untuk membayar cukai. Tanpa cukai, Tara Martani tidak bisa menjual produknya.
“Kami nekat menelepon distributor dan memberi diskon dengan harga cukai lama. Meski menjanjikan produk yang belum diproduksi akhirnya dapat dana segar dari distributor dan dipakai untuk bayar cukai agar bisa berproduksi,” kata Slamet, Kepala Bagian Keuangan TM PT Taru Martani.
Kesulitan keuangan itu terjadi selepas Yogyakarta mengalami gempa tahun 2004. Banyak piutang tak bisa ditarik dan utang perusahaan tak terbayar. Bahkan, pada tahun 2013, Pemda Yogyakarta membantu beban utang yang ditanggung perusahaan.
Dalam terpaan krisis, muncul gagasan inovatif di tahun 2010 dengan menciptakan tembakau iris baru pengganti dua jenis tembakau impor yang tak mampu dibeli. Yakni Mundi Victor pengganti Van Nelle dan Violin pengganti Drum. Tembakau iris ini melengkapi varian cerutu lokal milik Taru Martani seperti merek Mundi Victor,Senator, Adipati Corona, Ramayana Corona dan varian produk ekspor Long Filler.
Untuk bangkit dari keterpurukan, Taru Martani melakukan segmentasi pasar dengan pembedaan cita rasa. Tembakau iris Mundi Victor untuk segmen kelas, sedangkanCountry Man untuk kelas menengah, dan Violin untuk target pasar anak muda.
Tembakau iris ini mempunyai pasar terbesar di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. Taru Martani juga membuat sendiri cerutu flavour untuk mengetatkan biaya produksi. “Buat sendiri ternyata jauh lebih murah,” kata Slamet dengan tersenyum.
Dari Laporan Keuangan Taru Martani menyebutkan, penjualan produk cerutu sebelumnya berada di titik terendah antara tahun 2006-2009. Kejayaan Taru Martani yang dikenal dengan ekpor cerutu ke mancanegara hingga 70 persen dari total poduksi harus beralih pada pasar lokal. Sebabnya penjualan cerutu ekspor dalam 10 tahun terakhir kurang menggembirakan.
Di tahun 2006 penjualan cerutu ekspor mencapai Rp1,19 miliar dan mengalami titik terendah di tahun 2012 yang hanya menghasilkan Rp649 juta. Angka penjualan tertinggi ada di tahun 2009 sebesar Rp4,73 miliar dan tahun 2013 sebesar Rp3,59 miliar. Tahun 2016 hanya mampu menghasilkan Rp601 juta. Penjualan cerutu lokal stagnan dengan kisaran Rp 2 miliar- Rp2,68 miliar.
Produk tembakau iris Mundi Victor mampu mengangkat penjualan hingga Rp3,28 miliar, dan tahun 2016 mencapai Rp7,61 miliar. Sedangkan penjualan Country mancenderung stagnan. Tapi di tahun 2016 nilai penjualan tercatat naik menjadi Rp5,19 miliar dari tahun sebelumnya senilai Rp3,834 miliar. Sedangkan Violin dari tahun 2010 sebesar Rp139 juta menjadi Rp 953 juta di tahun 2016.
Ya, beberapa strategi Taru Martani memang berhasil membuat perusahaan cerutu itu tetap berproduksi. Laba perusahaan meningkat meski tidak cukup signifikan. Setidaknya perusahaan ini bisa bangkit dari titik terendah pada 2012. Laba perusahaan hanya hanya Rp16 juta dengan kontribusi pendapatan asli daerah Rp9 juta. Laba terus meningkat hingga di tahun 2016 menjadi Rp2,03 miliar dan mampu menyumbang pada kas daerah sebesar Rp1,01 miliar.
Slamet mengatakan ketika ramai kampanye antirokok dan Taru Martani terpuruk. DPRD pun mengusulkan menutup perusahaan karena tidak untung. Tapi perusahaan ini bertahan dan bangkit. “Setidaknya bisa nguripi (menghidupi) pekerja dan menghindari PHK. Berat karena harus memikirkan setoran ke pemda dan biaya cukai yang setiap tahun naik,” katanya.

Noni Arnee

http://independen.id/read/khusus/386/jurus-sakti-bernama-inovasi/














Tidak ada komentar: