Pages

Minggu, 08 Mei 2016

Sekarung plastik untuk sepiring nasi di Kantin Gas Metan



Pasangan suami istri Sarimin dan Suyatmi kompak memasak sayur mangut dan semur tahu di dapur warung makan milik mereka yang berada di sisi kiri zona aktif tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Jatibarang, Kecamatan Mijen, Semarang, Jawa Tengah.

Sudah tiga bulan terakhir ini pasangan itu membuka warung makan seluas 3x7 meter dengan berdinding triplek, beratap asbes, dan lantai tanpa plester. Sebuah spanduk merah dipajang di depan warung bertuliskan: Kantin Gas Metan.

Berbeda dengan warung makan pada umumnya, Kantin Gas Metan tidak menggunakan uang sebagai alat transaksi, tetapi plastik. Setiap orang yang ingin menyantap hidangan di warung tersebut harus terlebih dulu menukarkan sampah plastiknya.


Seperti siang itu, Andi Sumanto, pemulung asal Boyolali datang dengan memanggul sampah plastik dan meletakkan di depan warung.

Sarimin menyambutnya dengan membawa alat timbang untuk menimbang tumpukan sampah plastik sedangkan Suyatmi menyiapkan kertas bon pencatat sampah.

Menurut Sarimin, sampah plastik kresek dihargai Rp400 per kilogram. Setelah semua sampah plastik yang dibawa diberi harga, Andi pun masuk ke warung dan bersantap.

“Makan di kantin ini enak. Di warung lain bayar pakai uang, tapi di kantin ini bayarnya pakai plastik jadi meringankan. Kalau plastik saya dihargai Rp10.000 dan saya makan seharga Rp7.000, pemilik warung mengembalikan Rp3.000 kepada saya,” kata Andi, seperti dilaporkan wartawan di Semarang, Nonie Arni.

Kurangi plastik di TPA

Keberadaan Kantin Gas Metan tak lepas dari ide Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi, yang ingin mengurangi sampah plastik di TPA Jatibarang dengan target mencapai 40% dari total sampah di TPA sebanyak 800 ton per hari.

Dia lalu menghubungi pasangan Sarimin dan Suyatmi untuk membuat kantin yang memakai plastik sebagai alat transaksi. Untuk menopang kebutuhan bahan bakar memasak di kantin, gas metana pun disuplai dari TPA Jatibarang.

”Kami berpikir bagaimana caranya mengurangi plastik. Lalu muncul ide mendirikan sebuah kantin yang masaknya memakai gas metana. Tapi yang makan di sana harus membayar memakai plastik. Targetnya adalah melayani para pemulung dan supir truk sampah,” kata Agus.

Lalu dari mana gas metana berasal?


Kepala TPA Jatibarang, Agus Junaidi mengatakan gas metana muncul dari sampah aktif yang tertimbun di TPA Jatibarang selama dua tahun. Gas tersebut ditangkap menggunakan pipa-pipa yang ditanam di 9 titik dengan kedalaman 5-6 meter.

Kemudian, gas berkapasitas 72 meter kubik itu dialirkan secara gratis ke 100 rumah warga sekitar TPA, termasuk ke Kantin Gas Metan milik Sarimin dan Suyatmi. Setiap satu meter kubik (m3) gas metana setara dengan energi yang dihasilkan 0,48 kilogram gas elpiji.

Gas metana yang dipakai sebagai bahan bakar pun memuaskan.

“Enak memasak menggunakan gas metana. Apinya biru, tidak mengotori perabotan. Memasak juga cepat,” kata Suyatmi.

Sementara dari sisi bisnis, pemakaian gas metana dan penukaran plastik diakui Sarimin sangat menguntungkan.

“Kalau dulu belum punya warung, selama satu bulan, kami berdua menghasilkan Rp2 juta tapi harus dipotong biaya makan Rp500.000 dan tabungan Rp1 juta. Sekarang Rp1,5 juta sudah bersih. Makanan dari warung dan pengeluaran lainnya, seperti gas, gratis,” ujar Sarimin.

Konsep limbah ke energi

Pengalaman Sarimin dan Suyatmi adalah contoh warga yang mendapat manfaat dari konsep waste to energy atau limbah ke energi yang diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir. Idealnya, penanganan dan pengelolaan sampah di TPA menggunakan konsep tersebut.

“Sanitary land fill menjadi salah satu pendukung untuk program waste to energy. Semua sampah bisa masuk. Tapi butuh investasi karena berkaitan dengan teknologi. Ini hanya bisa dilakukan di kabupaten kota yang punya pendanaan besar. Di beberapa kota termasuk Semarang diarahkan untuk pembangkitan energi dari sampah. Kalau itu terealisasi TPA tidak ada masalah,” kata Winardi Dwi Nugraha, Dosen Teknik Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang

Akan tetapi, lepas dari teknologi di TPA, Winardi menekankan perlunya sistem pengelolaan sampah yang baik sejak dari rumah tangga.

“Penghasil sampah nomor satu ada di rumah tangga. Karena itu, perlu ada edukasi untuk mengolah sampah agar jumlah sampah yang masuk ke TPA pun bisa berkurang,” paparnya.

Tugas pemerintah, lanjutnya, ialah memprioritaskan anggaran untuk penanganan sampah.

“Pembuangan sampah rumah tangga perlu ditata, tapi harus ada mekanisme tertentu sehingga tidak membebani masyarakat seperti subsidi. Perlu ada. Ini mungkin bisa dicoba di beberapa kota kalau sistem sudah dibangun. Masyarakat untuk berubah juga bisa dengan regulasi yang jelas dan tidak ragu menerapkan itu,” tutupnya.

Anda bisa mendengarkan versi audio artikel ini dalam program Lingkungan Kita yang disiarkan berbagai stasiun radio mitra BBC di Indonesia, pada Rabu (6/4).


http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/04/160405_majalah_lingkungan_sampah

Tidak ada komentar: